Rabu, 30 Maret 2011

Teknik Pembuatan Pupuk Rumput Laut

Rumput laut dapat digunakan untuk pupuk organik bagi tumbuh-tumbuhan.Rumput laut yang merupakan komoditas perikanan yang berupa tumbuhan, sekarang telah banyak dilakukan budidaya di perairan lepas pantai. Berikut teknik pembuatan pupuk dari rumput laut

  1. Rumput laut dalam bentuk padat diawali dengan menghancurkan rumput laut sampai halus. Tujuannya, agar bakteri penghancur dalam proses fermentasi dapat bekerja maksimal. Selain itu, senyawa laktosa (senyawa gula) dapat mudah menyatu;
  2. Semua bahan baku pembuatan pupuk laut itu dicampur dan dimasukkan ke dalam wadah semisal drum, plastik, atau tempat yang memungkinkan berlangsungnya proses fermenatasi kedap udara;
  3. Waktu fermentasi optimal untuk membuat pupuk rumput laut padat itu sekitar dua pekan;
  4. Selain pupuk pada, ada pula pupuk rumput laut cair, Bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat pupuk cair tidak berbeda dengan pupuk padat;
  5. Perbedaan hanya terletak pada proses pembuatan dan lamanya waktu fermentasi. Pupuk rumput laut cair membutuhkan penambahan air dengan waktu fermentasi selam lima hari.

Pupuk ramah lingkungan dari rumput laut

Berbagai jenis rumput laut yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomis ternyata bisa digunakan sebagai bahan baku pupuk organik. Kandungan unsur hara mikro dan makronya lebih tinggi dari pupuk urea.

Lautan menyimpan begitu banyak sumber daya hayati yang bernilai jual tinggi. Selain beragam jenis ikan, kekayaan laut lainnya yang bermanfaat bagi manusia ialah rumput laut. Selama ini, rumput laut banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan, seperti jelly atau agar-agar, roti, salad, saus, dan es krim. Selain bahan makanan, tumbuhan laut yang termasuk keluarga gangga itu dapat diolah menjadi minuman semisal yoghurt dan sirup. Rumput laut juga kerap diekstrak untuk dijadikan bahan baku farmasi, kosmetika, dan bahan bakar. Karenanya, tidak heran jika rumput laut jenis tertentu banyak dibudidayakan untuk memasok kebutuhan industri. Menurut peneliti utama bidang produk alam laut dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rachmaniar Rachmat, ada beberapa jenis rumput laut bernilai ekonomi tinggi dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Beberapa di antaranya Eucheuma, Gracilaria, dan Microphylum. Ada lebih dari 600 spesies rumput laut yang tersebar di perairan Indonesia. Spesies-spesien rumput laut itu digolongkan ke dalam empat kelas, yaitu ganggang merah (Rhodophyceae), ganggang cokelat (Phaeophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), dan ganggang hi jau-biru (Cyanophyceae). Sayangnya, sebagian besar rumput laut itu belum diteliti dengan lebih mendalam mengenai kandungan zatzatnya. Alhasil, jenis-jenis rumput laut itu dianggap memiliki nilai ekonomi yang rendah. Rachmaniar mengatakan kebanyakan rumput laut yang kurang prospektif itu hidup liar di wilayah perairan Indonesia Timur, terutama di sekitar Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua. Jumlah rumput laut yang dianggap bernilai ekonomi rendah itu sebenarnya berpeluang untuk dijadikan pupuk yang mengandung unsur hara makro dan mikro cukup tinggi. Hal itu dapat dibuktikan dari ada nya tumpukan limbah rumput laut di lingkungan sekitar industri yang memanfaatkan sumber daya nabati laut itu. Di tumpukan limbah rumput laut yang telah melapuk itu biasanya tumbuh gulma atau beraneka ragam tanaman. “Hal itu menjadi indikasi rumput laut mengandung senyawa yang bermanfaat bagi tanaman,” ujar Rachmaniar yang juga menjadi Sekretaris Eksekutif Asosiasi Rumput Laut Indonesia. Karena merupakan limbah industri, tumpukan rumput laut itu sudah terkontaminasi berbagai macam bahan kimia. Alhasil, kandungan pupuk yang dihasilkannya pun turut tercemar. Berdasarkan hal itu ditelitilah kemungkinan membuat pupuk dari rumput laut yang bebas dari bahan kimia. Rumput laut yang dimanfaatkan ialah rumput laut yang dianggap bernilai ekonomi rendah. Berdasarkan hasil penelitian Rachmaniar diketahui rumput laut jenis Turbinaria dan Sargasum memiliki unsur hara makro dan mikro yang cukup lengkap. Unsur hara makro di antaranya nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, dan sulfur. Sedangkan unsur hara mikro antara lain besi, mangan, tembaga, seng, molibden, boron, dan klor. “Unsur-unsur yang terkandung dalam pupuk rumput laut itu lebih banyak daripada pupuk urea yang dijual di pasaran,” klaim Rachmaniar. Lebih lanjut, Rachmaniar menjelaskan pembuatan pupuk rumput laut dalam bentuk padat diawali dengan menghancurkan rumput laut sampai halus. Tujuannya, agar bakteri penghancur dalam proses fermentasi dapat bekerja maksimal. Selain itu, senyawa laktosan (senyawa gula) dapat mudah menyatu. Semua bahan baku pembuatan pupuk rumput laut itu dicampur dan dimasukkan ke dalam wadah semisal drum, plastik, atau tempat yang memungkinkan berlangsungnya proses fermentasi kedap udara. Apabila selama fermentasi terdapat udara, maka proses pembuatan pupuk pun akan gagal. Waktu fermentasi optimal untuk membuat pupuk rumput laut padat itu sekitar dua pekan. Setelah itu, pupuk dapat diberikan pada tanaman sayur, buah, dan bunga. Selain pupuk padat, ada pula pupuk rumput laut cair. Menurut Rachmaniar, bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat pupuk cair tidak berbeda dengan pupuk padat. Perbedaan hanya terletak pada proses pembuatan dan lamanya waktu fermentasi. Pupuk rumput laut cair membutuhkan penambahan air dengan waktu fermentasi selama lima hari. Lebih Subur Rachmaniar memaparkan berdasarkan hasil uji perbandingan antara pupuk rumput laut baik padat, cair, maupun campuran keduanya dengan urea diketahui kondisi tanaman yang menggunakan pupuk rumput laut lebih subur. Dalam uji coba penyemprotan pupuk rumput laut dilakukan dua kali selama masa tanam. Secara umum, tanaman yang diberi pupuk rumput laut menghasilkan batang lebih besar dan tegak, urat daun terasa kasar, batang tidak mudah patah, dan daun berwarna hijau serta tidak mudah sobek. Sedangkan tanaman yang disiangi pupuk urea memiliki batang yang mudah rebah dan patah, daun berwarna hijau tua, urat daun terasa halus, serta mudah sobek. Uji efektivitas pupuk rumput laut pada tanaman selama empat pekan memberikan hasil tinggi tanaman yang diberi pupuk padat mencapai 32,8 sentimeter. Sedangkan tanaman yang diberi pupuk urea tingginya mencapai 32,2 sentimeter. Panjang daun tanaman yang menggunakan pupuk rumput laut padat mencapai 13,7 sentimeter, se dangkan daun tanaman yang menggunakan pupuk urea memiliki panjang 9,3 sentimeter. “Dari hasil uji efektivitas dapat ditarik benang merah bahwa dengan melihat kekuatan tanaman, ketahanan terhadap lingkungan, serta ukuran tanaman, maka paling efektif menggunakan pupuk rumput laut padat,” ujar Rachmaniar. Formula pupuk rumput laut itu rencananya akan dikomersialkan lewat suatu perusahaan swasta pada tahun ini. Menurut doktor bidang kimia bahan alam dari Universitas Padjajaran, Bandung, itu meski memiliki banyak kelebihan, pupuk rumput laut juga memunyai kelemahan. Daun tanaman yang diberi pupuk rumput laut banyak yang berlubang karena dimakan ulat ketimbang daun tanaman yang diberi pupuk berbahan kimia. Namun, di sisi lain, hal itu bisa menjadi indikator bahwa tanaman tidak membahayakan kesehatan manusia ketika dikonsumsi. “Kalau ulat saja takut mengonsumsi tanaman yang mengandung bahan kimia, tentu ada sebabnya. Hal itu menujukkan tanaman yang diberi pupuk berbahan kimia sebenarnya berbahaya jika dikonsumsi manusia,” ujar Rachmaniar.

Gurami Apik dengan Probiotik

Gurami Apik dengan Probiotik
Aplikasi probiotik sistem Guba mampu mempercepat waktu pembenihan dan pembesaran ikan gurami.
Penerapan bioteknologi pada usaha budidaya ikan gurami membuat pembudidaya tak lagi harus menunggu lama untuk menghasilkan keuntungan. Budidaya yang biasanya memakan waktu tahunan, kini bisa diringkas menjadi hanya hitungan bulanan. Rahasianya ada pada pengunaan probiotik (kumpulan mikroba menguntungkan).
Menurut Ketua Permina (Perhimpunan Masyarakat Perikanan Nusantara), Among Kurnia Ebo, probiotik dapat diaplikasikan sejak tahap pembenihan (post larva) hingga pembesaran. Produk alami ini aman digunakan secara terus menerus. Namun, ia mengingatkan, harus disesuaikan dengan analisa usaha.
“Jangan sampai biaya pembelian probiotik malah menjadi pemborosan,” kata Ebo saat berbincang dengan Trobos medio April lalu di Gubug Permina, Desa Jambidan Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantu Yogyakarta. Permina mengembangkan aplikasi probiotik pada budidaya gurami diberi nama sistem Guba (Gugus Simba).
Aplikasi tersebut merupakan hasil riset dari Pusat Penelitian Antar Universitas (PPAU) bidang Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Dijelaskan oleh Sekretaris Jenderal Permina, Usman Wiwied, Inti dari teknik ini adalah penggunaan probiotik sejak dini hingga panen di mulai dari persiapan kolam, penyiapan pakan, dan penjagaan air.
Jenis mikroba yang digunakan lebih lengkap dan terukur karena diproduksi oleh lembaga terpercaya (lihat tabel). Dengan probiotik itu, mikroorganisme ‘baik’ tumbuh di kolam. Dengan lingkungan yang baik itu, mikro organisme ‘jahat’ akan terdesak dan tidak mampu menyerang gurami. “Selain itu kecernaan pakan meningkat karena ada probiotik khusus yang dicampurkan dengan pakan,” paparnya di forum pelatihan budidaya gurame yang merupakan agenda rutin Permina setiap bulan.
Probiotik Fase Pembenihan
Penggunaan probiotik sejak tahap pembenihan sudah dirasakan manfaatnya  oleh para pembudidaya gurami. Salah satunya adalah Budi Suyoto, pembudidaya gurami asal Jambidan. Budi menjelaskan, probiotik digunakan sejak benih atau larva gurami sekitar pada umur 21 hari setelah menetas atau saat mencapai panjang 2 – 3 per ekor bisa juga disebut ukuran sekuku (mana yang lebih dahulu tercapai).
Pada masa itu benih gurami sudah mampu memakan pakan buatan berbentuk tepung (D0). Sebelum  itu, sejak umur 7 hari benih gurami hanya memakan cacing sutera. Pakan D0 diberikan dengan digumpalkan dengan beberapa sendok air yang telah diberi probiotik pemacu pertumbuhan (khusus untuk dicampur pakan).
Pakan buatan tersebut kemudian dibulatkan sebesar kepalan tangan orang dewasa. Pakan ini kemudian diletakkan di atas cobek atau piring lalu ditenggelamkan di dasar bak atau kolam pendederan. “Cukup 4 - 5 cobek untuk 5 ribu – 7 ribu ekor benih, pakan didalamnya  akan habis dalam 2 hari,” ujar pelatih budidaya di Permina ini.
Lebih lanjut Budi mengatakan, pada umur 30 hari, pembudidaya sudah dapat memanen gurami dengan ukuran panjang 3 – 4 cm per ekor. Tanpa aplikasi probiotik, ukuran itu baru akan dicapai pada umur 40 - 45 hari. Harga rata-rata saat panen Rp 120 – Rp 140 per ekor, jauh di atas harga telur gurami yang hanya Rp 30 per butir.
Dengan menetaskan 10 ribu butir telur  (rata-rata tingkat kehidupan/Survival Rate atau SR) 80% saja di bak ukutan 2 x 3 m dapat menghasilkan uang lebih dari Rp 500 ribu. Modal untuk pendederan gurami sebanyak itu hanya memerlukan cacing sutera 10 liter (Rp 10.000,-/liter) dan pakan D0 2 kg (Rp 12.000,-/kg), dan probiotik Rp 30.000,-/botol.